Kamis, 29 Oktober 2009

Syar’u Man Qablana Sebagai Dalil Syara’

Sudah aklum di hadapan kita semua bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah sosok fiqur yang Ma’shum(terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan. Namun terdapat keganjalan dibenak kita terkait dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau?.

[1]Terkait dengan pertanyaan di atas ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syariat nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syariat yang diikuti beliau tersebut :

· Syariat Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.

· Syariat Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)

· Syariat Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :

إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي"

"أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا"

· Syariat Nabi Musa AS.

· Syariat Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad. Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS.ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy[2] mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.

Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya(Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah. Dan bila kita mau menengok al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri maka kita akan banyak menjumpai di dalamnya hukum-hukum syariah umat terdahulu yang dikenal dalam Istilah Ushul Fiqh sebagai”Syar’u Man Qablana” yang akan menjadi sasaran diskusi kita kali ini.

Difinisi Syar’u Man Qablana.

Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.[3]

Macam-Macam Syar’u Man Qablana

[4]Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :

1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.

2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.

3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :[5]

· Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.

· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.

Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[6]

1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.

2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku”[7] yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.

3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.

4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.

Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :

1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.

2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.[8]

3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.

4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.

Kesimpulan

Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi.

Demikianlah uraian tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semuaga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.



[1] Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389

[2] Imam al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257

[3] Duktur Wahabah al-Zuaily, al-Wajiz Fi Ushuli al-Fiqh, Hal, 101

[4] Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105

[5] Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843

[6] Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 844

[7] surat Thaha, ayat ,14

[8] Al-ma’idah, ayat, 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar