Esensi Al-Qur’an Sebagai Firman Allah
Bila ada seorang lagi melontarkan suatu kata tertentu, maka kita akan melihatnya sedang menggerakan lisannya dengan memakai alat lain yaitu mulut. Gerakan ini dinamakan kata yang terucap(kalam lafdzy), begitu juga kata yang dilontarkan. Terkadang kita juga merangkai kata namun tidak diwujudkan dengan bentuk di atas. merangkai kata ini dinamakan kata hati(kalam al-Nafsi), begitu juga rangkaian katanya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kalam itu dibagi menjadi dua bagian.pertama, Kalam Lafdzy. Kedua, Kalam Nafsy. Dua pembagian kalam ini terdapat pada dzat yang hadist(Makhluq) dan yang Qadim(khaliq). Namun apakah kalamnya makhluq sama dengan kalamnya khaliq?. Dan apakah al-Quran yang kitabaca sekarang makluq?.
Difinisi Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa adalah Masdar yang searti dengan lafadz Qira’ah(membaca) kemudian dijadikan nama bagi kalam yang ditutrunkan ke Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Lihyani dan kebanyakan ulama. Ada juga yang mengatakan sifat dari lafadz Qar’i dengan arti kumpul, ada juga yang mengatakan bahwa Qur’an itu diambil dari lafadz Qara’in dan Qarana. Namun pendapat ini tidak terlalu tepat, karena terdapat unsur pemaksaan dan dan tidak mengikuti kaidah pengambilan kata(isytiqaq).
Al-Qur’an juga punya nama lain yaitu al-Furqan meninjau eksistensinya sebagai kalam yang dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan al-Qura’an sama al-Furqan ini adalah dua nama bagi kalamu al-Allah yang termasyhur. Sementara nama-nama lain, seperti al-Kitab, al-Dzikri dan al-Tanzil DLL semuanya merujuk pada keduanya, sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama Tafsir. Sebenarnya masih banyak nama-nama al-Qur’an selain yang penulis sebutkan di atas, bahkan ada sebagian ulama yang ketelaluan dalam menamainya sampai lebih dari Sembilan puluh nama, sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang kita al-Tibyan.
Sementara difinisi al-Qur’an menurut istilah adalah sifat Qadim yang berhubungan dengan kalimat al-Hukmiyah atau dengan kata lain adalah firman Allah yang tidak memakai huruf dan suara. Difinisi ini adalah difinisi ulama Tauhid(Mutakallimin). Sementara Ulama ushul Fiqih mendifiniskannya sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi dari awal surat al-fatihah sampai ahir surat an-Nas. Ada juga yang mendifinisikannya sebagai lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang. Difinisi-difinisi di atas tidak ada yang bertentangan karena tinjaunnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan setiap apa yang ditekuni para ulama(takhasshus).[1] Mutakallimin membahas tentang sifat Allah dan yang menafikan keberadaan al-Qur’an sebagai makhluk sementara ulama Ushul Fiqih membahas penetapan dalil sebuah hukum(istidlal) yang hubungannya dengan lafadz.
Jibril dan Wahyu
Banyak sekali nash-nash al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbicara terhadap para malaikat tanpa pelantara apapun, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 30, al-Anfal ayat 13, al-Dzariyat ayat 4 dan al-Nazi’at ayat 5. Diriwayatkan dari Nuwas Bin Sam’an bahwa rasulullah berkata:
”Bila Allah menghendaki suatu perkara, maka Allah akan berbicara. Semua langit dan seisinya merasa ketakutan, akhirnya mereka semua bersujud pada Allah dan tidak ada yang berani mengangkat kepalanya kecuali Malaikat Jibril. Kemudian Allah menyampaikan padanya perkara yang dikehendaki tersebut dan Jibrilpun menerimanya secara langsung(sima’an). Setelah itu Jibril berjalan mengelilingi langit dan setiap dia ketemu Malaikat dia ditanya perihal firman Allah tadi Jibrilpun menjawabnya, kemudian para malaikat itu berkata bahwa semua yang disampaikan Jibril adalah apa yang disampaikan Allah.”.
Terkait dengan al-Qur’an sebagai Wahyu ada tiga pendapat. Pertama, Jibril menerimanya secara langsung dari Allah(sima’an). Kedua, Jibril menghafalnya dari Lauhi al-Mahfudz. Ketiga, Allah mewahyukan secara makna, sementara lafadzya dari Jibril atau dari Muhammad SAW. Pendapat ketiga ini jelas batilnya meninjau al-Qur’an itu sendiri, karena di sana ada hadit Qudsi yang kebanyakan ulama’ sepakat sebagai wahyu dari Allah namun secara makna sementara lafadzya dari Rasul sendiri.
Wahyu dan Rasulullah
Yang dimaksud wahyu di sini al-Qur’an dan hadis Nabi baik hadis Qudsi atau bukan, namun penulis lebih memfokuskan pada al-Qur’an sebagai kajian di sini.
Ada dua model Rasulullah menerima wahyu dari Allah. Pertama, langsung dari Allah. Kedua, melalui pelantaraan malaikat. Wahyu yang secara langsung ini terkadang berbentuk sebuah mimpi nyata dan kalam ilahi dari di belakang layar(wara’a hijab) seperti wahyu yang turun pada Rasulullah di malam Isra’ dan Mi’raj. Pelentara yang disebutkan di sini bisa berbentuk kekuatan suara yang terkadang berupa kepakan sayap malaikat atau deringan bel(shalshalatu al-Jarras) sebagai tanda, sehingga Rasul bisa bersiap-siap menerima wahyu tersebut. Terkadang Malaikat Jibril mendatangi Rasul secara langsung dengan bentuk manusia, sebagaimana dalam hadis yang menjelaskan tentang Iman, Islam dan Ihsan.
Al-Qur’an Dan Firman Allah
Bicara tentang firman Allah berarti berbicara tentang difinisi-difinisi di atas, yaitu kalam yang Qadim yang tidak menggunakan suara dan huruf, lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang, atau lafadz yang diturunkan pada Rasulullah dari awal surat al-Fatihah sampai akhir al-Nas yang juga kita kenal dengan Mushaf di masa sekarang. Dua difinisi ini sama-sama dikatakan al-Qur’an. Namun yang kedua hanya bukti dari firman Allah tersebut(dilalah yang ditunjukannya sama dengan dilalah kalamullah yang Qadim) bukan firman Allah itu sendiri, karena karena firman Allah itu Qadim sementara bukti(al-Qur’an yang kita kenal sekarang) itu baru(baru). Namun walaupun begitu bukti tadi tetap dikatakan al-Quran dan bukan makhluk karena mengindikasikan firman yang Qadim sebagaimana yang disebutkan imam Sanusi dalam kitabnya”Hasyiyatu al-Sanusi”.[2] Diriwayatkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata”Lukisan yang berada di setiap lemabar atau Mushaf yang kita kenal sekarang adalah firman Allah(kalamullah) dengan artian diciptkan oleh Allah(makluqun lahu) bukan manusia”. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk mengatkan al-Qur’an itu makluk lebih-lebih kalau harus meremehkannya sebagaimana kejadian yang pernah dilakukan oleh sebagian dosen di Surabaya di IAIN Surabaya. Untuk lebih membuktikan kemulyaan al-Qur’an tersebut ada pertanyaan dari penulis yang bisa kita renungkan sendiri”Apa yang kita rasakan bila kita punya karangan atau mengatakan sesuatu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan diremehkan oleh seseorang dengan diinjaknya atau dengan model peremehan yang lain?”. ini adalah bukti keterkaitan al-Qur’an yang kita kenal sekarang dengan kalamullah al-Qadim tersebut.
untuk lebih membuktikan lagi keberadaan al-Qur’an sebagai kalamullah dan murni dari Allah secara lafadz dan makna adalah apa yang riwayatkan imam Suyuti dari imam Juwaini bahwa beliau membagi firman Allah menjadi dua bagian. Pertam, Allah memerintah malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu pada Nabi seraya berkata”Hai Jibril katakana pada Nabi” sesungguhnya Allah memerintahkan ini dan itu”. Kemudian Jibril memahami apa yang diperintahkan Allah dan menyampaikannya pada Nabi, namun bukan dengan redaksi yang dari Allh tersebut. Kedua, perintah Allah pada malaikat Jibril”Hai Jibril Bacakanlah pada Nabi kitab ini kemudian Jibril turun pada Nabi untuk menyampaikan perintah tadi tanpa merubah redaksi yang disampaikan Allah padanya. Setelah itu imam Suyuti mengatakan bahwa al-Qur’an termasuk bagian yang kedua sementara bagian yang pertama adalah hadis Rasul, karena itu boleh meriwayatkan hadis secara makna(al-Riwayah bi al-Ma’na).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu bisa dikatakan pada al-qur’an yang kita kenal sekarang(al-Alfadz al-Musyarrafah) dan firman Allah yang Qadim, namun kita tetap tidak boleh mengatakan al-Qur’an(al-Alfadz al-Musyarrafah) adalah hadis karena al-Qur’an tersebut mengindikasikan keberadaan firman Allah yang Qadim, sehingga sebagai kesimpulan kita juga tidak bisa mengatakan kalau al-Qur’an itu makluq.[3]
REFERENSI :
1. Panitia gerakan pengajar, Unifersitas al-Azhar, Mabahits Fi Ulumi al-Qur’an
2. Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyatu al-Sanusi,
3. Abi al-Hasan Ali Bin Hisyam Al-Kailani, Syarhu Kifayatu al-Awam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar