Rabu, 28 Oktober 2009

MANTIQ DAN PERKEMBANGANNYA

Pendahuluan

Manusia terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan menciptakan indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau indra-indra lain. Dengan indra-indra di atas manusia belum ada bedanya dengan hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal sebagai alat untuk berfikir, dengan akal inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan. Namun di sana tuhan juga menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat mempengaruhi keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali mereka melakukan kesalah, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk menanggulaginya dengan meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga manusia menjadi terjaga dari kesalahan tersebut.

Duktur Muhammad Rabi’ al-Jauhary, duktur al-Azhar fakultas Ushuluddin menyebutkan dalam bukunya”Dhowabitu al-Fikr” bahwa kecendrungan, pengaruh, kebiasaan, taklid dan kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi akal dalam berfikir. Beliau juga menyebutkan dalam buku tersebut bahwa seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu Mantiq tidak perlu untuk diterapkan.

Ibnu Sina mengatakan bahwa Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita sudah mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had, maka kita berarti telah mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah sampai pada puncak pengetahuan.

Difinisi Ilmu Mantiq

Mantiq(Bahasa Arab)mempunyai dua sinonim kata, pertama Logic(Bahasa Inggris). Kedua Laguque(Bahasa Prancis) yang keduanya diambil dari kata”Logos” bahasa Yunani. Adapun difinisinya ada dua, pertama, difinisi yang meninjau dzat dan pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq yang dikenal denganTa’rif Haddy. Yaitu ilmu yang membahas batas-batas dalam berfikir. Kedua, difinisi yang meninjau hasil dan tujuan ilmu tersebut yang dikenal dengan Ta’rif Rasmy. Yaitu alat yang berbentuk peraturan yang dapat menjaga kesalahan dalam berfikir. Di sana juga ada difinisi-difinisi lain meninjau para ulama’nya :

· Aristotales. Ilmu Mantiq adalah alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah ilmu itu sendiri arau bentuk ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.

· Ibnu Sina. Mantiq adalah produk pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih yang diberi nama penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.

· Ghazali. Mantiq adalah undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui keabsahan Had dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.

Macam-Macam Ilmu Mantiq

Mantiq apabila ditinjau dari sisi perkembangannya dibagi menjadi dua bagian, pertama, Mantiq Qadim. Kedua Mantiq Hadits(baru). Mantiq Hadits ini adalah wujud baru bagi Ilmu Mantiq. Dalam dua mantiq ini banyak sekali perbedaan yang mencolok, seperti Tashowur. Tashowur kalau dalam Mantiq al-Qadim adalah menjadi pokok yang sangat berharga, berbeda dalam Mantiq al-Hadits. Contoh lain adalah metode percobaan(Manhaj al-Tajriby) dan penelitian(Manhaj al-Istiqra’ie) yang menyalahi metode berfikir(Manhaj al-Nadhory) atau Qiyas

Sementara bila ditinjau dari sisi Tabi’atnya mantiq dibagi dua bagian juga, pertama Mantiq al-Shury. Kedua Mantiq al-Mady. Dua pembagian ini adalah salah satu masalah terpenting yang dikaji dalam Ilmu Mantiq. Adapun Maudu’ dari Mantiq al-Shury adalah kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan akal pikiran sebagai peletaknya. Kinerja Mantiq ini adalah menawarkan kaidah-kaidah yang kita butuhkan agar nanti kesimpulan yang kita dapatkan bisa benar. Sementara yang dibahas(maudu’) dalam Mantiq al-Mady adalah kaidah-kaidah yang sesuai dengan kenyataan.

Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq Shoghir(Logica Minor) yang kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens, Logica Major). Mantiq shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-kaidah) dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja akal yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung oleh Ibnu Sina karena beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami mantiqnya Aristotales.Dua mantiq ini adalah nama lain dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian mantiq ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya Plato dan Socrates.

Perkembangan Ilmu Mantiq

Kaum shopisme(al-Sufsatho’iyun) berpandangan bahwa paca indra alat tunggal yang dapat mengetahu segala sesuatu, sementara akal tidak. Kebenaran segala sesuatu adalah kebanaran yang dianggap indra benar, menyalahi indra berarti meninggalkan kebenaran dan tak akan pernah menemukan kebenaran. Untuk menyebarkan pandangannya tersebut mereka menggunakan kata-kata yang tersusun rapi Cuma mengandung racun yang menyesatkan. Mereka benar-benar meresahkan masyarakat pada saat itu, masyarakat Yunani. Namun langkah mereka dicegat oleh Socrates.

Socrates adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau lahir di Athena tahun 469 SM. Dalam mantiqnya beliau berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh) dan pengusutan(Istiqra’). Dengan keberadaan beliau akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.

Kemudian misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di Athena tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa oleh Socrates guru beliau, namun beliau menambahkan dua pembahasan lain dari pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah dan al-Qismah al-Manthiqiyah.

Kemudian di tahun 384 SM di Athena juga datanglah Aristotales. Beliau dikenal sebagai”Saikhul Islam”, karena beliau adalah orang pertama yang menyusun dan membukukan Ilmu Mantiq di abad ke emmpat sebelum kelahiran Isa AS. Dalam bermantiq beliau terpengaruh oleh orang-orang sebelum beliau(Socrates dan Plato). Bukunya tentang mantiq terdiri dari delapan bagian yaitu: Categori(membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika(tentang proposisi), Sylogisme(tentang Qiyas), Demonstrasi(tentang Qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika(ilmu debat), Sofistika(Qiyas yang menyesatkan), Retorika(seni agitasi masa) dan Poetica(seni menyusun kata-kata puitis).

Mantiq Dalam Islam

Sebelum kemunculan Islam orang Arab tidak mengenal Ilmu Mantiq, walaupun kaidah-kaidah Mantiq tersebut bisa kita temukan dalam Syaiir-syair mereka dalam bentuk yang berbeda, seperti syair Zuhair Bin Abi Salma :

لسان الفتى نصف ونصف فؤاده * فلم يبق الا صورة اللحم والدم

Lisan pemuda adalah sebagian, sementara sebagian yang lain adalah hatinya *

maka tidak ada yang tersisa kecuali sebentuk daging dan darah

Syair ini berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah hayawan yang berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan keistimewaannya.

Kemudian dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di masa-masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan melawan cercaan terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nashoro yang juga menggunakan Mantiq dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya.

Di awal-awal masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga menghawatirkan bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali sekat-sekat Yunani dalam mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke 5 H yang beliau tuangkan dalam kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.

Terkait dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatika, Aqidah dan bahasa. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu tercampur dengan filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tengtang hukum mempelajarinya yang mana perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi di atas, Aqidah dan Bahasa:

1. Wajib mempelajarinya dengan alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan sebagai kebutuhan untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.

2. Haram mempelajarinya, karena pokok-pokok dalam manteq menyalahi poko-pokok islam. Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq adalah Ibnu Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi al-Katib” dan Ibnu Atsir.

3. Boleh mempelajarinya, tapi husus bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.

Empat perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas bila kita cermati kembali pada sisi yang berhubungan dengan akidah. Di sana juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa. Disebutkan bahwa imam Syafi’ie sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan berlandaskan ilmu tersebut bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-pokok dalam Bahasa Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut dalam dalam islam.

Faidah Mempelajari Ilmu Mantiq

Dari uraian di atas jelas bagi kita akan urgensitas Ilmu Mantiq tersebut sebagai satu bidang ilmu yang menawarkan batas-batas dan peraturan dalam berfikir, sehingg pemikiran kita dapat terjaga dari kesalahan. Dan sangat penting rasanya penulis sebutkan Faidah-faidah yang dapat kita rasakan sebab mempelajari ilmu tersebut, yaitu sebagai berikut :

· Membantu kita untuk mengetahui esesnsi pemikiran kita dan tabi’at akal kita.

· Membantu kita menjahui kesalahan dalam berfikir kalau kaidah-kaidah mantiq ini benar-benar diterapkan.

· Membantu konsisten dalam kebenaran dan menjahui kesalahan berfikir dan mengungkap kesalahan akan apa yang kita pikirkan.

· Tidak fanatik dalam berpendapat.

· Tidak tunduk pada kecendrungan dan hawa nafsu.

· Menulak syubhat dari pendebat.

· Dapat mengetahui keabsahan sebuah dalil.

Demikianlah uraian sejarah singkat perkembangan Ilmu Mantiq, semuga bermemfaat dan menjadi tambahan wawasan kita semua amin yarabbal alamin.

Referensi :

1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3

2. Duktur Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu al-Fikr, cet,5

3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3

4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum

5. Duktur Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir

6. Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama



Esensi Al-Qur’an Sebagai Firman Allah

Bila ada seorang lagi melontarkan suatu kata tertentu, maka kita akan melihatnya sedang menggerakan lisannya dengan memakai alat lain yaitu mulut. Gerakan ini dinamakan kata yang terucap(kalam lafdzy), begitu juga kata yang dilontarkan. Terkadang kita juga merangkai kata namun tidak diwujudkan dengan bentuk di atas. merangkai kata ini dinamakan kata hati(kalam al-Nafsi), begitu juga rangkaian katanya.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kalam itu dibagi menjadi dua bagian.pertama, Kalam Lafdzy. Kedua, Kalam Nafsy. Dua pembagian kalam ini terdapat pada dzat yang hadist(Makhluq) dan yang Qadim(khaliq). Namun apakah kalamnya makhluq sama dengan kalamnya khaliq?. Dan apakah al-Quran yang kitabaca sekarang makluq?.

Difinisi Al-Qur’an

Al-Qur’an menurut bahasa adalah Masdar yang searti dengan lafadz Qira’ah(membaca) kemudian dijadikan nama bagi kalam yang ditutrunkan ke Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Lihyani dan kebanyakan ulama. Ada juga yang mengatakan sifat dari lafadz Qar’i dengan arti kumpul, ada juga yang mengatakan bahwa Qur’an itu diambil dari lafadz Qara’in dan Qarana. Namun pendapat ini tidak terlalu tepat, karena terdapat unsur pemaksaan dan dan tidak mengikuti kaidah pengambilan kata(isytiqaq).

Al-Qur’an juga punya nama lain yaitu al-Furqan meninjau eksistensinya sebagai kalam yang dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan al-Qura’an sama al-Furqan ini adalah dua nama bagi kalamu al-Allah yang termasyhur. Sementara nama-nama lain, seperti al-Kitab, al-Dzikri dan al-Tanzil DLL semuanya merujuk pada keduanya, sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama Tafsir. Sebenarnya masih banyak nama-nama al-Qur’an selain yang penulis sebutkan di atas, bahkan ada sebagian ulama yang ketelaluan dalam menamainya sampai lebih dari Sembilan puluh nama, sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang kita al-Tibyan.

Sementara difinisi al-Qur’an menurut istilah adalah sifat Qadim yang berhubungan dengan kalimat al-Hukmiyah atau dengan kata lain adalah firman Allah yang tidak memakai huruf dan suara. Difinisi ini adalah difinisi ulama Tauhid(Mutakallimin). Sementara Ulama ushul Fiqih mendifiniskannya sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi dari awal surat al-fatihah sampai ahir surat an-Nas. Ada juga yang mendifinisikannya sebagai lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang. Difinisi-difinisi di atas tidak ada yang bertentangan karena tinjaunnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan setiap apa yang ditekuni para ulama(takhasshus).[1] Mutakallimin membahas tentang sifat Allah dan yang menafikan keberadaan al-Qur’an sebagai makhluk sementara ulama Ushul Fiqih membahas penetapan dalil sebuah hukum(istidlal) yang hubungannya dengan lafadz.

Jibril dan Wahyu

Banyak sekali nash-nash al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbicara terhadap para malaikat tanpa pelantara apapun, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 30, al-Anfal ayat 13, al-Dzariyat ayat 4 dan al-Nazi’at ayat 5. Diriwayatkan dari Nuwas Bin Sam’an bahwa rasulullah berkata:

”Bila Allah menghendaki suatu perkara, maka Allah akan berbicara. Semua langit dan seisinya merasa ketakutan, akhirnya mereka semua bersujud pada Allah dan tidak ada yang berani mengangkat kepalanya kecuali Malaikat Jibril. Kemudian Allah menyampaikan padanya perkara yang dikehendaki tersebut dan Jibrilpun menerimanya secara langsung(sima’an). Setelah itu Jibril berjalan mengelilingi langit dan setiap dia ketemu Malaikat dia ditanya perihal firman Allah tadi Jibrilpun menjawabnya, kemudian para malaikat itu berkata bahwa semua yang disampaikan Jibril adalah apa yang disampaikan Allah.”.

Terkait dengan al-Qur’an sebagai Wahyu ada tiga pendapat. Pertama, Jibril menerimanya secara langsung dari Allah(sima’an). Kedua, Jibril menghafalnya dari Lauhi al-Mahfudz. Ketiga, Allah mewahyukan secara makna, sementara lafadzya dari Jibril atau dari Muhammad SAW. Pendapat ketiga ini jelas batilnya meninjau al-Qur’an itu sendiri, karena di sana ada hadit Qudsi yang kebanyakan ulama’ sepakat sebagai wahyu dari Allah namun secara makna sementara lafadzya dari Rasul sendiri.

Wahyu dan Rasulullah

Yang dimaksud wahyu di sini al-Qur’an dan hadis Nabi baik hadis Qudsi atau bukan, namun penulis lebih memfokuskan pada al-Qur’an sebagai kajian di sini.

Ada dua model Rasulullah menerima wahyu dari Allah. Pertama, langsung dari Allah. Kedua, melalui pelantaraan malaikat. Wahyu yang secara langsung ini terkadang berbentuk sebuah mimpi nyata dan kalam ilahi dari di belakang layar(wara’a hijab) seperti wahyu yang turun pada Rasulullah di malam Isra’ dan Mi’raj. Pelentara yang disebutkan di sini bisa berbentuk kekuatan suara yang terkadang berupa kepakan sayap malaikat atau deringan bel(shalshalatu al-Jarras) sebagai tanda, sehingga Rasul bisa bersiap-siap menerima wahyu tersebut. Terkadang Malaikat Jibril mendatangi Rasul secara langsung dengan bentuk manusia, sebagaimana dalam hadis yang menjelaskan tentang Iman, Islam dan Ihsan.

Al-Qur’an Dan Firman Allah

Bicara tentang firman Allah berarti berbicara tentang difinisi-difinisi di atas, yaitu kalam yang Qadim yang tidak menggunakan suara dan huruf, lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang, atau lafadz yang diturunkan pada Rasulullah dari awal surat al-Fatihah sampai akhir al-Nas yang juga kita kenal dengan Mushaf di masa sekarang. Dua difinisi ini sama-sama dikatakan al-Qur’an. Namun yang kedua hanya bukti dari firman Allah tersebut(dilalah yang ditunjukannya sama dengan dilalah kalamullah yang Qadim) bukan firman Allah itu sendiri, karena karena firman Allah itu Qadim sementara bukti(al-Qur’an yang kita kenal sekarang) itu baru(baru). Namun walaupun begitu bukti tadi tetap dikatakan al-Quran dan bukan makhluk karena mengindikasikan firman yang Qadim sebagaimana yang disebutkan imam Sanusi dalam kitabnya”Hasyiyatu al-Sanusi”.[2] Diriwayatkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata”Lukisan yang berada di setiap lemabar atau Mushaf yang kita kenal sekarang adalah firman Allah(kalamullah) dengan artian diciptkan oleh Allah(makluqun lahu) bukan manusia”. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk mengatkan al-Qur’an itu makluk lebih-lebih kalau harus meremehkannya sebagaimana kejadian yang pernah dilakukan oleh sebagian dosen di Surabaya di IAIN Surabaya. Untuk lebih membuktikan kemulyaan al-Qur’an tersebut ada pertanyaan dari penulis yang bisa kita renungkan sendiri”Apa yang kita rasakan bila kita punya karangan atau mengatakan sesuatu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan diremehkan oleh seseorang dengan diinjaknya atau dengan model peremehan yang lain?”. ini adalah bukti keterkaitan al-Qur’an yang kita kenal sekarang dengan kalamullah al-Qadim tersebut.

untuk lebih membuktikan lagi keberadaan al-Qur’an sebagai kalamullah dan murni dari Allah secara lafadz dan makna adalah apa yang riwayatkan imam Suyuti dari imam Juwaini bahwa beliau membagi firman Allah menjadi dua bagian. Pertam, Allah memerintah malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu pada Nabi seraya berkata”Hai Jibril katakana pada Nabi” sesungguhnya Allah memerintahkan ini dan itu”. Kemudian Jibril memahami apa yang diperintahkan Allah dan menyampaikannya pada Nabi, namun bukan dengan redaksi yang dari Allh tersebut. Kedua, perintah Allah pada malaikat Jibril”Hai Jibril Bacakanlah pada Nabi kitab ini kemudian Jibril turun pada Nabi untuk menyampaikan perintah tadi tanpa merubah redaksi yang disampaikan Allah padanya. Setelah itu imam Suyuti mengatakan bahwa al-Qur’an termasuk bagian yang kedua sementara bagian yang pertama adalah hadis Rasul, karena itu boleh meriwayatkan hadis secara makna(al-Riwayah bi al-Ma’na).

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu bisa dikatakan pada al-qur’an yang kita kenal sekarang(al-Alfadz al-Musyarrafah) dan firman Allah yang Qadim, namun kita tetap tidak boleh mengatakan al-Qur’an(al-Alfadz al-Musyarrafah) adalah hadis karena al-Qur’an tersebut mengindikasikan keberadaan firman Allah yang Qadim, sehingga sebagai kesimpulan kita juga tidak bisa mengatakan kalau al-Qur’an itu makluq.[3]

REFERENSI :

1. Panitia gerakan pengajar, Unifersitas al-Azhar, Mabahits Fi Ulumi al-Qur’an

2. Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyatu al-Sanusi,

3. Abi al-Hasan Ali Bin Hisyam Al-Kailani, Syarhu Kifayatu al-Awam



[1] Panitia gerakan pengajar, Unifersitas al-Azhar, Mabahits Fi Ulumi al-Qur’an, Hal, 10,11

[2] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyatu al-Sanusi, hal, 23

[3] Abi al-Hasan Ali Bin Hisyam Al-Kailani, Syarhu Kifayatu al-Awam, Hal, 56


2 komentar:

Forum Kajian Ushul Fiqih mengatakan...

aduuh pusing bacanya

naDhi_islamiC mengatakan...

iya deh, aku juga sih...klu boleh bisa ngak ya disusun mgikut judulnya dan diperbesarkan sdikit tulisannya donk :P

Posting Komentar